Minggu, 31 Januari 2010

bentuk perkawinan

Soal Teks Home

1. Jelaskan makna istilah indogame, eksogami, homogami,hipergami?
2. Jelaskan bagaimana cara pendekatan sosiologis terhadap penelitian keluarga?
3. Jelaskan bagaimana cara menyelesaikan 14 macam penyimpangan berdasarkan norma agama dan norma sosial yang berlaku di negara kita?
4. Jelaskan fungsi sistim keluarga terhadapa sistem kemasyarakatan?
5. Jelaskan arti penting pernikahan?
6. Jelaskan bentuk-bentuk runah tangga?














Jawaban:
1) Jelaskan makna istilah Endogami, eksogami, homogami,hipergami?
Endogami , Eksogami, Homogami, Hipergami adalah salah satu bentuk perkawinan menurut asal suami atau istri .

a. Endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang sama.
b. Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Eksogami dapat dibagi menjadi dua macam, yakni :
1. Eksogami connobium asymetris terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai pemberi atau penerima gadis seperti pada perkawinan suku batak dan ambon.
2. Eksogami connobium symetris apabila pada dua atau lebih lingkungan saling tukar-menukar jodoh bagi para pemuda.
Eksogami melingkupi heterogami dan homogami. Heterogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda seperti misalnya anak bangsawan menikah dengan anak petani.
c. Homogami adalah perkawinan antara kelas golongan sosial yang sama seperti contoh pada anak saudagar / pedangang yang kawin dengan anak saudagar / pedagang.
d. Hipergami adalah suatu bentuk perkawinan dalam sistem kasta yang mendorong agar seorang gadis menikah dengan seorang pria darikastanya sendiri atau dengan pria dari kasta lain. Jika sebaliknya di sebut hipogami, hipogami adalah suatu bentuk pernikah antara laki2 dengan wanita yang memiliki kedudukan di bawahnya atau pernikahan antara wanita dengan laki2 yang memiliki kedudukan di bawahnya.adapun kedudukan dalam hipogami menurut islam hanya di dasarkan atas nilai agama ( religius equality ). Karena hipogami dalam islam hanya di dasarkan atas religius equality, maka yang dimaksud dengan status lebih rendah adalah terletak ada agama yang dianut dan tingkatan ketaqwaan laki-laki atau perempuian, maksudnya laki-laki yang menganut agama selain islam statusnya lebih rendah dibandingkan dengan wanita islam ( muslimah ) yang tidak layak bersedia dinikahi oleh laki-laki di luar muslim.
Apabila di dalam perkawinan tersebuat kedudukannya lebih tinggi , maka keadaan tersebuat disebut hipergami. Kedua bentuk perikahan tersebuat:hipogami dan hipergami dibolehan di dalam islam(A. Munir dan Sudarno;1992:279-289.

2) Jelaskan bagaimana cara pendekatan sosiologis terhadap penelitian keluarga?
Pendekatan secara sosiologis memusatkan diri terhadap keluarga sebagai suatu lembaga sosial, kualitas interaksi keluarga yang aneh dan khusus secara sosial. Sistem keluarga mengacu pada sifat-sifat kekuasaan dan kewibawaan, yang sama sekali bukan merupakan kategori biologis .
Nilai-nilai yang berhubungan dengan keluarga, atau hak dan kewajiban setiap anggota keluarga, seperti ayah atau anak perempuan, bukanlah kategori psikologis, tetapi kesemuanya itu merupakan ciri khas sosiologi sebagai sebuah cabang ilmu. Seorang sosiologis yang meneliti keluarga tidak menganalisa psikodinamikanya penyakit jiwa, tetapi akan tertarik pada pengaruh penyakit jiwa pada hubungan sosial dalam suatu keluarga atau tipe keluarga, Analisa sifat-sifat pribadi tidak dapat menceritakan banyak mengenai perbedaan tingkah laku keluarga, dengan tetap berpegang pada pendekatan sosiologis kita memang kehilangan beberapa informasi pemting mengenain hubungan timbal balik keluarga secara nyata, tetapi menghasilkan sistematika, beberapa kekakuan, dengan tetap berada pada aturan teoritis.
3) Jelaskan bagaimana cara menyelesaikan 14 macam penyimpangan berdasarkan norma agama dan norma sosial yang berlaku di negara kita?
14 macam penyimpangan:
1. Hubungan bersama atas dasar suka sama suka
2. Pergundikan dui mana hal itu telah melembaga ( Cina kuno dan Jepang )
3. Ketidaksahan kelas rendahan
4. Hubungan seorang bangsawan dengn gundik pada zaman pra-industri masyarakat Barat
5. Melahirkan anak pada masa tunangan
6. Hubungan sepintas lalu, yang diikuti perkawinan
7. Perzinahan, sang lelaki yang sudah menikah
8. kehidupan bersama seorang yang tertarak dengan orang lain yang juga hidup bertarak atau yang tidak
9. Perzinahan, sang wanita yang sudah menikah
10. Perzinahan, kedua-duanya telah menikah
11. kehidupan bersama seorang wanita kasta tinggi dengan lelaki kasta rendah
12. Incest, saudara lelaki dengan saudara perempuan
13. Incest, bapak dengan anaknya
14. Incest, ibu dengan anak laki-laki
Menurut William j. Goode dalam bukunya “Sosiologi Keluarga” perilaku penyimpangan kebanyakan orang tidak melakukan penyelewengan bukan hanya karena ketakutan akan akibatnya , tetapi karena ( 1 ) pemnguatan diri, yang membuat orang merasa salah secara moral untuk mengambil resiko itu, dan ( 2 ) kontrol sosial yang memperingatkan perorangan sebelum terjadi keintiman.
Keanekaragaman bangsa Indonesia yang meliputi ras, suku bangsa, agama, adat istiadat, dan bahasa, pada hakikatnya satu atau tunggal yang tergabung dalam satu rumpun bangsa Melayu, dengan induk kebudayan yang tunggal. Demikian pula dengan kebudayaan yang bermacam-macam agama, hakikatnya bersumber dari ajaran tauhid yaitu pengakuan pada keesaan Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun banyak perbedaan didalam kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi semua organ yang tidak sama itu dapat dalam satu sistem dengan fungsi dan tujuan yang sama, yaitu mempertahankan hidup manusia.
Agar didalam masyarakat proses integrasi dapat berjalan dengan baik dan normal, masyarakat harus memperhatikan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kehidupan sosial dari masyarakat tersebut. Faktor-faktor sosial tersebut menentukan arah kehidupan sosial untuk menuju integritas sosial. Faktor sosial tersebut adalah tujuan masyarakat, sistem sosial, sistem tindakan dan sistem sanksi. (waridah, 2004:14)
Ketaatan terhadap norma sosial termasuk norma agama akan membentk integrasi sosial yang kuat. Seorang yang memegang teguh ajaran agamanya masing-masing tidak akan mengganggu ajaran agama lain, begitupun seorang yang telah mengkristal dalam dirinya nilai-nilai sosial yang tertanam sejak kecil di keluarga akan memiliki rasa empati terhadap sesama dan akan melahirkan solidaritas sosial yang kuat .


4) Jelaskan fungsi sistim keluarga terhadapa sistem kemasyarakatan?
Keluarga merupakan sosialisasi primer yang artinya lingkungan masyarakat pertama yang dikenal seseorang ketika lahir. Sebagai media sosialisasi primer, sudah tentu keluargalah yang paling berpengaruh membentuk karakter dalam diri seseorang. Bagaimana orang itu hidup, bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat, bagaimana menyelesaikan masalah, dan semua hal lain yang berkaitan langsung dengan kehidupan kita adalah karena faktor keluarga. Banyak orang yang sukses dalam hidupnya adalah karena pendidikkan dalam keluarganya yang selalu mengajarkan cara - cara yang baik dan benar dalam menjalani hidup. Namun banyak pula orang yang hidupnya hancur dan berantakkan juga karena pendidikkan dalam keluarganya yang mengajarkan cara - cara yang tidak sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Fungsi Keluarga Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga, sebagai berikut :
1. Fungsi Pendidikan. Dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa.
2. Fungsi Sosialisasi anak. Tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3. Fungsi Perlindungan. Tugas keluarga dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4. Fungsi Perasaan. Tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5. Fungsi Religius. Tugas keluarga dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa ada keyakinan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
6. Fungsi Ekonomis. Tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan, mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7. Fungsi Rekreatif. Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, sdan sebagainya.
8. Fungsi Biologis. Tugas keluarga yang utama dalam hal ini adalah untuk meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
Dalam kesimpulannya, fungsi keluarga dalam masyarakat menempati posisi teratas dari media sosialisasi lainnya. Jika sistem yang diterapkan cocok dengan kepribadian anak, dapat dipastikan anak itu akan diterima masyarakat dengan baik yang akhirnya membawa kebanggaan untuk keluarganya. Mari berantas sistem mambosankan dalam keluarga. Kita punya potensi besar yang bisa dimaksimalkan hanya bila keluarga mendukung. Tapi ingat, bertanggung jawablah atas kebebasan yang diberikan orang tua pada kita.

5) Jelaskan arti penting pernikahan?
Perkawinan akan memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia secara perseorangan maupun kelompok jika dibangun atas dasar agama - pengabdian kepada Allah dan kebaktian kepada kemanusian untuk kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri, bukannya karena alasan memburu tahta, harta dan unsur kecantikan atau ketampanan semata. Tujuan perkawinan dalam Islam sangat terhormat karena akan memberikan kesempatan laki-laki dan wanita untuk bergaul secara sah, tenang dan penuh kasih sayang.
Prasyarat untuk membangun perkawinan yang langgeng itu harus atas dasar kerelaan yang teraktualisasi dengan adanya peminangan, ijab-kabul dan disaksikan dihadapan masyarakat dalam suatu walimah. Diluar dari kriteria ini tentu bisa jadi perdebatan serius mengenai sah tidaknya perkawinan, apalagi jika akan membandingkan pendapat ke-4 mashab dalam Islam mengenai tata cara syahnya sebuah perkawinan. Tentang arti perkawinan, Prof. Dr. Hazairin, SH., mengatakan bahwa inti perkwainan itu adalah hubungan seksual. Tidak ada nikah (perkawinan) jika tidak disertai hubungan seksual antara suami dan isteri. Sementara menurut hukum Islam (UU No. 1/1974), perkawinan adalah "suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syariat Islam". Diluar dari ketentuan ini, bisa jadi perkawinan tidak sah dan akan membawa kepada suatu 'mulut kawah yang dalam' yang siap-siap menelan salah satu pasangan kita ke jenjang perceraian.

6) Jelaskan bentuk-bentuk rumah tangga?
Ragam bentuk rumahtangga mempunyai banyak pengertian bagi interaksi keluarga. Secara hubungan sosial, peran sanak saudara dan salain sebagainya. Misalkan rumahtangga mencakup seorang laki-laki dan ibu mertuanya, mungkin ada peraturan-peraturan yang menuntut banyak pengekangan atau meniadakan hubungan antara keduanya. Rumah tangga inti adalah terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Poligini dan Poliandri adalah dua bentuk poliandri. Yang pertama, seorang laki-laki mempunyai dua atau lebih istri, sehingga rumah tangga itu terbentuk dari dua atau lebih keluarga inti. Di mana lelaki yang sama menjadi suami bagi bebrapa wanita. Suatu bentuk yang umum ialah sororal poligami, di mana seorang lelaki menikah dengan dua atau lebih saudara wanitanya. Pda poliandri, seorang wanita menjadi istri pada dua atau lebih lelaki, tetap tentunya hanya ada anak satu turunan. Satu macam bentuk yang tersebar luas ialah fraternal poliandri, yaitu perkawinan seorang wanita dengan beberapa saudara lelaki .
Extended family adalah bentuk rumah tangga yang secara lepas dipergunakan bagi sitem di mana masyarakatnya menginginkan bahwa beberapa generasi itu hidup di bawah satu atap. Seperti dalam keluarga Cina yaitu di mana seorang laki-laki dengan istrinya tinggal bersama dengan keluarga anak-anak lakinya yang telah menikah, bersama pula dengan anak-anak laki dan perempuannya yang belum menikah, dan tentu saja juga dengan cucu atau cicitnya dai garis keturunan laki-laki. Keluarga besar atau diperluas dapat juga terbentuk dari unit-unit keluarga seorang laiki-laki dengan beberapa istrinya, bersama dengan keluarga anak-anak lakinya. Seperti banyak terdapat di masyarakat Afrika dan Arab.




DAFTAR PUSTAKA


http://organisasi.org/macam-jenis-bentuk-perkawinan-pernikahan-poligini-poliandri-endogami-eksogami-dll.
Goode,William j. “Sosiologi Keluarga” . Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985
http://civicseducation.wordpress.com/2008/08/08/ketaatan-norma-sosial-menuju- integrasi-sosial/.
http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_9276/title_fungsi-keluarga-dalam-masyarakat/.
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=29498.

Jumat, 29 Januari 2010

aku bangga terlahir di Indonesia

aku cinta Indonesia
aku bangga terlahir di Indonesia
aku bangga menjadi anak Indonesia.
aku bangga memiliki budaya yang majemuk,
walau aku terlahir dari suku madura namun aku bangga memiliki saudara setanah air dari berbagai budaya ,

Pencak Silat Persaudaran Setia Hati Terate (PSHT) Sebagai komunitas Minoritas

Pencak Silat Persaudaran Setia Hati Terate (PSHT) Sebagai komunitas Minoritas dari komunitas-komunitas di Kampus Uin Sunan Kalijaga Yogyakarata.


A. Definisi Minoritas dan Minoritas


Mayoritas dalam bahasa Inggris ( Majority ) adalah sebuah istilah dalam ilmu umum, dimana mayoritas digambarkan sebagai suara terbanyak dalam sistem pemerintahan. Mayoritas adalah lawan kata dari minoritas dimana kaum mayoritas di negara-negara dengan sistem liberalis, kapitalis, demokrasi lebih mempunyai kuasa dibandingkan dengan suara minoritas. Dalam prosesnya kaum mayoritas mempunyai kekuasaan ataupun jabatan yang lebih tinggi dalam proses pemerintahan ataupun sosial suatu negara.
Minoritas ialah kelompok sosial yang tak menyusun mayoritas populasi total dari voting dominan secara politis dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Minoritas dapat pula merujuk ke kelompok bawahan maupun masrginal. Minoritas sosiologis dapat mencakup kelompok yang di bawah normal dengan memandang pada kelompok dominan dalam status sosial, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, dan kekuasaan politik. Istilah “kelompok minoritas” sering diterapkan bersama dengan hak asasi manusia dan hak kolektif yang mengemuka di abad ke-20.
Kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang merasa memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol. Mereka merupakan sumberdaya kekuasaan dalam setting institusi yang berbeda-beda. Setting itu cenderung lebih penting karena hal tersebut. Mempengaruhi masyarakat termasuk penyelenggara pemerintah, agama, pendidikan dan pekerjaan (ekonomi ). Sebalikanya kelompok minoritas kurang mempunyai akses terhadap sumberdaya bahkan tidak berpeluang mendapatkan kekuasaan, dalam hal lain yang dapat mendorong prasangka antara mayoritas dan minoritas.
Penggunaan istilah minoritas dan mayoritas dipermukaan digambarkan siapa yang kuat, terbesar dan akhirnya persaingan Mayoritas dan minoritas adalah suatu fenomena yang wajar yang bisa terjadi dimana saja, karenanya menghilangkan istilah-istilah ini berarti mengingkari kenyataan adanya pluralitas dalam suatu masyarakat. Kita harus bisa menerima kenyataan, bahwa dalam suatu masyarakat terdapat golongan-golongan yang berbeda-beda, karena hal ini sudah merupakan suatu sunatullah (hukum alam). Dan dalam suatu masyarakat yang serba pluralis, selalu ada golongan yang lebih besar jumlahnya (mayoritas) dari golongan yang lain.
Suatu golongan menjadi besar, manakala sebagian besar masyarakat memiliki kesaamaan dalam "nilai", pendapat, pandangan, dan sebagainya. Penggunaan istilah mayoritas dan minoritas dalam suatu masyarakat ternyata tidak selalu menggambarkan siapa yang terkuat atau yang paling kuat, tetapi lebih menunjukkan pada besarnya jumlah atau kuantitas suatu golongan. Banyak variable yang mempengaruhi penggambaran suatu kekuatan. Kadangkala kita menyaksikan, bahwa suatu golongan minoritas bisa juga menjadi yang terkuat dan melakukan unjuk kekuatan kepada kelompok mayoritas. Yang menjadi masalah penting sebenarnya bukan pada soal istilah mayoritas ataupun minoritas, melainkan pada kesadaran masing-masing pihak untuk menempatkan dirinya secara proporsional.
Kelompok mayoritas hendaknya selalu mengayomi dan melindungi kelompok minoritas ataupun kelompok yang lemah lainnya. Karena kelompok ini mempunyai dan mewakili anggota (suara) yang jumlahnya jauh lebih besar dari kelompok lainnya, maka sangat wajar jika kelompok mayoritas memegang kendali dan ditempatkan sebagai penentu kebijakan dalam suatu masyarakat, dengan tetap mengikutkan kelompok minoritas dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan. Selain itu, kelompok mayoritas pun harus memberikan jaminan keadilan kepada siapa saja, termasuk kepada kelompok minoritas, artinya tidak mendiskriminasikan kelompok minoritas.
Sebaliknya, sebagai kelompok minoritas yang mempunyai anggota yang jauh lebih kecil, harus menyadari dan mengerti bahwa mereka hanya mewakili suara dan kepentingan sedikit orang. Oleh karena itu harus mau dan rela memberikan posisi kendali dan posisi penentu kepada kelompok yang mewakili suara dan kepentingan banyak orang. jika kepentingan dan suara sedikit orang lebih didahulukan daripada kepentingan dan suara banyak orang. Namun walau demikian, kelompok minoritas hendaknya dapat memberikan kontribusinya bagi kebaikan bersama. Selalu terbuka kesempatan bagi kelompok minoritas untuk maju dan berkembang sebagaimana halnya dengan kelompok minoritas.
]Jika melihat secara nyata bahwa segala macam ketidakadilan yang melanda kelompok minoritas sebagai suatu tindakan yang terorganisir dan hanya menimpa kelompok minoritas semata, maka kesan seperti itu memang tampak wajar. Namun jika kita melihat mayorits dan minoritas merupakan suatu fenomena kehidupan yang wajar, tanpa harus menonjolkan kekuatan satu dengan yang lainnya, maka kita akan melihat betapa mesranya hubungan kelompok mayoritas dan minoritas dalam membangun cita-cita bersama.

B. Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate ( PSHT ) Kebagai Komunitas Minoritas diantara komunitas-komunitas di Kampus UIN Sunan kalijaga Yogyakarta

Jiwa patriotisme yang tinggi ditunjukkan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, salah seorang Saudara Tertua Setia Hati, dengan bantuan teman-temannya dari Pilang Bango, Madiun dengan berani menghadang kereta api yang lewat membawa tentara Belanda atau mengangkut perbekalan militer. Penghadangan, pelemparan, dan perusakkan yang terjadi berulang-ulang sampai akhirnya ia ditangkap PID Belanda dan mendapat hukuman kurungan di penjara Cipinang dan dipindahkan ke Padang, Sumatera Barat. Setelah dibebaskan, Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang telah mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club yang kemudian mengaktifkan kembali perguruannya sampai akhirnya berkembang dengan nama Persaudaraan Setia Hati Terate.
Persaudaraan Setia Hati Terate dalam perkembangannya dibesarkan oleh RM Imam Koesoepangat murid dari Mohammad Irsyad kadhang (saudara) Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC) yang merupakan murid dari Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Sebelum menjadi kadhang SH dan mendirikan SH PSC, Ki Hadjar Hardjo Oetomo magang sebagai guru di SD Banteng Madiun. Tidak betah menjadi guru, bekerja di Leerling Reambate di SS (PJKA) Bondowoso, Panarukan dan Tapen. Tahun 1906 keluar dari PJKA dan bekerja menjadi Mantri Pasar Spoor Madiun di Mlilir dengan jabatan terakhir sebagai Ajudan Opsioner Pasar Mlilir, Dolopo, Uberan dan Pagotan (wilayah selatan Madiun). Pada tahun 1916 bekerja di pabrik gula Redjo Agung Madiun. Tahun 1917 masuk menjadi saudara SH dan dikecer langsung oleh Ki Ngabei Soerodiwirjo, pendiri Persaudaran Setia Hati. Pada tahun ini bekerja di stasiun kereta api Madiun hingga menjabat Hoof Komisaris. Tahun 1922 bergabung dengan Sarekat Islam dan mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club di Desa Pilangbango, Madiun, yang kemudian berkembang sampai ke daerah Nganjuk, Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo, dan Yogyakarta.
Tahun 1925, ditangkap oleh Pemerintah Belanda dan dipenjara di Cipinang, kemudian dipindahkan ke Padang, Sumatra Barat selama 15 tahun. SH PSC dibubarkan Belanda karena terdapat nama Pencak. Setelah pulang dari masa tahanan mengaktifkan kembali SH PSC dan untuk menyesuaikan keadaan, kata pencak pada SH PSC menjadi pemuda. Kata pemuda semata-mata hanya untuk mengelabui Belanda agar tidak dibubarkan. Bertahan sampai tahun 1942 bersamaan dengan datangnya Jepang ke Indonesia.
Tahun 1942, atas usul saudara SH PSC Soeratno Soerengpati tokoh pergerakan Indonesia Muda, nama SH Pemuda Sport Club diubah menjadi Setia Hati Terate. Pada waktu itu SH Terate bersifat perguruan tanpa organisasi.
Tahun 1948, atas prakarsa Soetomo Mengkoedjojo, Darsono,dan lain-lain mengadakan konferensi di rumah Ki Hadjar Hardjo Oetomo di desa Pilangbango, Madiun. Hasil konferensi menetapkan Setia Hati Terate yang dulunya bersifat perguruan diubah menjadi organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate dengan diketuai oleh Oetomo Mangkoewidjojo dengan wakilnya Darsono.
Dalam dunia Pencak silat, Persaudaraan Setia Hati Terate adalah organisasi pencak silat besar, termasuk dalam pencak silat histories yang membentuk IPSI dan dari segi keanggotaan PSHT memiliki anggota yang sangat banyak. Tidak jarang di berbagai kabupaten dan propensi menjadi mayoritas dari segi keanggotaan. Menurut pengamatan penulis dengan data yang kurang jelas. Ada anggapan anggota PSHT adalah anggota terbanyak dari perguruan pencak silat di Indonesia.
Namun, sebenarnya PSHT adalah organisasi pencak silat minoritas dari segi banyaknya perguruan-perguruan Pencak Silat di Indonesia
Selanjutnya Persaudaraan Setia Hati Terate ( PSHT ) komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berdiri pada hari selasa tanggal 09 september 1997. Tanggal ini diambil dari hari pertama PSHT resmi latihan pertama. Sampai saat ini PSHT Komisariat UIN Sunan Kalijaga belum menjadi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa ) karena banyak kendali tekhnis baik yang bersifat birokrasi maupun non birokrasi.
PSHT UIN Sunan Kalijaga berada dalam sebuah komunitas yaitu kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam konsep mayoritas dan minoritas. Sangat jelas PSHT UIN Sunan Kalijaga berada dalam posisi minoritas dari komunitas-komunitas di UIN sunan Kalijaga.




DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Mayoritas,
Alo Liliweri, Prasangka dan konflek: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,Yogyakarta: LKIS. 2005
HTTP://ID.WIKIPEDIA.ORG/WIKI/MINORITAS,
Buku Panduan 1 Persaudaraan Setia Hati Terate, Madiun, tt

Agama dan Masyarakat

Agama dan Masyarakat


A. PENDAHULUAN

Berdasarkan sudut pandang kebahasaan bahasa Indonesia pada umumnya “agama” dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a, yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”.
Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda, keduanya berasal dari bahasa latin, religio dari akar kata religare yang berarti mengikat. Agama menurut social ialah suatu jenis social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayakannya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.
Menurut psikologi agama pengertian agama adalah pengakuan pribadi terhadap yang dihayati sebagai “Yang Adi Insani atau Super Human” yang menggejala dalam penghayatan dan tingkah laku orang yang bersangkutan lebih-lebih kalau usahanya untuk menyelelaraskan dengan yang adi insani itu. Pengertian agama (religi) lebih dipandang sebagai wadah lahiriah atau sebagai instansi yang mengatur pernyataan iman itu di forum terbuka (masyarakat) dan yang manifestasinya dapat dilihat (disaksikan) dalam bentuk kaidah-kaiah, ritus dan kultus, doa-doa, dan sebagainya. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat di samping unsur-unsur yang lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan dan sistem organisasi sosial.
Sebagian besar ilmuwan membatasi pengertian agama dalam bentuk yang hanya bisa diterapkan pada agama-agama samawi yang masih otentik saja yakni agama-agama yang berdasarkan wakyu dari langit, yaitu agama-agama tauhid yang didasarkan pada keyakinan tentang adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, Maha mengadakan, pemberi bentuk dan Pemelihara segala sesuatu, serta hanya kepada-Nya dikembalikan segala urusan.

B. PEMBAHASAN

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama.
Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis.
Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan. Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:
1. Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
2. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.
3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).
“… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”.
4. Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda.
Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).
Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. Atau dengan kata lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.
Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati. Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.
Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial.
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.
Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.
C.PENUTUP
Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral.
Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.










Senin, 25 Januari 2010

Sejarah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI)

IPSI, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta, adalah organisasi nasional Pencak Silat tertua di dunia dan satu-satunya organisasi nasional Pencak Silat di Indonesia. Bapak-bapak pendiri IPSI adalah :

1. Wongsonegoro
2. Soeratno Sastroamidjojo
3. Marjoen Soedirohadiprodjo
4. Dr. Sahar
5. Soeria Atmadja
6. Soeljohadikoesoemo
7. Rachmad Soeronegoro
8. Moenadji
9. Roeslan
10. Roesdi Iman Soedjono
11. S. Prodjosoemitro
12. Moh. Djoemali
13. Margono
14. Soemali
15. Karnandi
16. Ali Marsaban

Ketua Pusat Kebudayaan Kedu
Sekretaris Pusat Kebudayaan Kedu
Pencak Sumatra
SHO
Pencak Jawa Barat
SH Madiun
SH Madiun
SH Solo
SH Kediri
SH Kediri
PORI Bagian Pencak
Yogyakarta
SH Yogyakarta
Ketua PORI
Kementerian Pembangunan dan Pemuda
Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan



Pendirian IPSI didasarkan pada 3 tujuan utama sebagai satu kesatuan, yakni :

1. Mempersatukan dan membina seluruh perguruan Pencak Silat di Indonesia.
2. Melestarikan, mengembangkan dan memasyarakatkan Pencak Silat beserta nilai-nilainya.
3. Menjadikan Pencak Silat dan nilai-nilainya sebagai sarana pembangunan bangsa dan ahlak.

Asas IPSI adalah Pancasila. Kehidupan dan hubungan di lingkungan IPSI didasarkan pada semangat kekeluargaan, kebersamaan dan kesetiakawanan dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk. IPSI tidak berafiliasi, berorientasi dan berfungsi politik.
Skala kegiatan IPSI meliputi seluruh wilayah Indonesia. Anggota IPSI terdiri dari perguruan-perguruan Pencak Silat yang secara sukarela menyatakan menjadi anggota IPSI dan bersedia menyesuaikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya (AD dan ART-nya) dengan AD dan ART IPSI. Jumlah seluruh anggota IPSI sekitar 800-an perguruan Pencak Silat, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan mengajarkan sekitar 150 aliran (gaya) Pencak Silat.
Jumlah perguruan dan aliran Pencak Silat di Indonesia paling banyak jika dibandingkan dengan jumlah perguruan dan aliran Pencak Silat di negara-negara sumber Pencak Silat lainnya, yakni Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Karena itu, Indonesia disebut sebagai negara sumber Pencak Silat yang terbesar.
Aliran Cimande dan Silek Tuo (Minangkabau) adalah aliran Pencak Silat tua dan besar di Indonesia, yang mempengaruhi banyak aliran Pencak Silat yang diajarkan di berbagai perguran Pencak Silat di Indonesia maupun di negara sumber Pencak Silat lainnya.
Perguruan-perguruan Pencak Silat di Indonesia dapat dikategorisasikan ke dalam perguruan tradisional, peralihan dan modern. Perbedaannya terletak pada cara mengelola perguruan dan cara mengajar dan melatih.
Pada dasarnya, tujuan perguruan adalah melestarikan, mengembangkan dan memasyarakatkan Pencak Silat melalui pendidikan, pengajaran, pelatihan dan promosi.

Ada 10 perguruan yang berkualifikasi sebagai perguruan historis atau anggota khusus IPSI Pusat. Nama-nama perguruan tersebut tersebut adalah :

1. Persaudaraan Setia Hati.
2. Persaudaraan Setia Hati Terate.
3. Perisai Diri.
4. Perisai Putih.
5. Tapak Suci.
6. Phasadja Mataram.
7. Perguruan Pencak Indonesia (PERPI) Harimurti.
8. Persatuan Pencak Seluruh Indonesia (PPSI).
9. Putra Betawi.
10. Nusantara.
IPSI mempunyai pengurus di eselon pusat atau nasional serta di eselon propinsi, daerah tingkat II dan kecamatan yang nama-namanya adalah : Pengurus Besar, Pengurus Daerah, Pengurus Cabang dan Pengurus Ran-ting. Masa kerja pengurus IPSI adalah 4 tahun.
Lembaga tertinggi bagi IPSI dan seluruh anggotanya adalah Musyawarah Nasional IPSI yang dilaksanakan 4 tahun sekali. Peserta musyawarah ini terdiri dari wakil-wakil Pengurus Besar IPSI, Pengurus Daerah IPSI dan10 perguruan

Kode etik manusia Pencak Silat Indonesia, yang disebut pesilat Indonesia, adalah “Prasetya Pesilat Indonesia”, yang berarti pernyataan pesilat Indonesia kepada dirinya sendiri. Kode etik ini terdiri dari 7 butir janji, yang naskah lengkapnya sebagai berikut :

1. Kami pesilat Indonesia adalah warga negara yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur.
2. Kami pesilat Indonesia adalah warga negara yang membela dan mengamal-kan Pancasila dan Undang -Undang Dasar 1945.
3. Kami pesilat Indonesia adalah pejuang yang mencintai bangsa dan Tanah Air Indonesia.
4. Kami pesilat Indonesia adalah pejuang yang menjunjung tinggi persau-daraan dan persatuan bangsa.
5. Kami pesilat Indonesia adalah pejuang yang senantiasa mengejar ke-majuan dan berkepriba-dian Indonesia.
6. Kami pesilat Indonesia adalah kesatria yang selalu menegakkan kebe-naran, kejujuran dan keadilan.
7. Kami pesilat Indonesia adalah kesatria yang tahan uji dalam mengha-dapi cobaan dan godaan.
Lambang IPSI disusun bersama oleh Yanuarno dan Harsoyo. Yanuarno menyusun gambar lambang, sedangkan Harsoyo merumuskan makna gambar tersebut. Lambang tersebut disahkan oleh Munas IPSI tahun 1977.

Sejak tahun 1948 sampai 2005, di tataran nasional, IPSI dipimpin oleh 4 orang Ketua Umum PB IPSI, yaitu Wongsonegoro (1948-1973), Tjokropranolo (1973-1981), Eddie M. Nalapraya (1981-2003). dan Prabowo Subianto (sejak 4 Juli 2003).

Alamat Pengurus Besar IPSI (PB IPSI) adalah : Padepokan Pencak Silat Inonesia Jl. Taman Mini I, Jakarta 13560, telepon / fax : 021-8413815 / 021-8416214.

sumber:http://www.persilat.org/Ipsi_Indonesia.htm

Pencak silat historis (AD/ART Munas IPSI tahun 2003)

AD/ART Munas IPSI tahun 2003

BAB I
KEANGGOTAAN

Pasal 1
Keanggotaan IPSI terdiri dari :
1. Keanggotaan Umum.
2. Keanggotaan Khusus.

Pasal 2
Keanggotaan Umum IPSI adalah keanggotaan yang dimiliki oleh Perguruan/ Organisasi Pencak Silat yang telah memenuhi syarat dan telah diterima sebagai anggota IPSI melalui tata cara permohonan yang telah ditentukan.

Pasal 3
Keanggotaan Umum terdiri dari :
1. Keanggotaan IPSI Pusat.
2. Keanggotaan IPSI Daerah.
3. Keanggotaan IPSI Cabang.
4. Keanggotaan IPSI Ranting.

Pasal 4
1. Keanggotaan Khusus IPSI adalah keanggotaan dimiliki secara otomatis oleh Perguruan historis/Organisasi Pencak Silat ditinjau dari sejarah perkembangan IPSI mempunyai kedudukan khusus dan hanya berlaku di Tingkat Pusat.

2. Perguruan Anggota Khusus IPSI adalah :

2.1. Persaudaraan Setia Hati.
2.2. Persaudaraan Setia Hati Terate.
2.3. Perisai Diri.
2.4. Perisai Putih.
2.5. Tapak Suci.
2.6. Phasaja Mataram.
2.7. Persatuan Pencak Silat (PERPI) Harimurti.
2.8. Persatuan Pencak Silat Indonesia (PPSI).
2.9. Putra Betawi.
2.10. Nusantara.

Pasal 5
Persyaratan Perguruan/Organisasi Pencak Silat menjadi Anggota Umum IPSI :

1. Untuk menjadi anggota IPSI Ranting, harus mempunyai anggota aktif sekurang-kurangnya 25 orang.

2. Untuk menjadi anggota IPSI Cabang, harus mempunyai jumlah Ranting sekurang-kurangnya seper-empat ( ¼ ) jumlah IPSI Ranting yang terdapat di wilayah tugas IPSI Cabang yang bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk Cabang yang belum mempnyai IPSI Ranting dan hanya dapat satu ( 1 ) Perguruan Pencak Silat. Perguruan Pencak Silat bersangkutan dapat secara langsung mendaftar menjadi anggora IPSI Cabang yang terkait

3. Untuk menjadi anggota IPSI Daerah, harus mempunyai jumlah Cabang sekurang-kurangnya setengah (½) jumlah IPSI Cabang yang terdapat di wilayah tugas IPSI Daerah yang bersangkutan dan seluruhnya telah menjadi anggota IPSI Cabang

4. Untuk menjadi anggota IPSI Pusat, harus mempunyai jumlah cabang sekurang-kurangnya (½) + 1 anggota IPSI Daerah dan seluruhnya telah menjadi anggota IPSI Daerah.

----------

AR:
Status perguruan khusus/historis diberikan hanya kepada 10 perguruan di atas, karena berjasa dan memiliki sejarah pengembangan IPSI serta dikukuhkan dalam Munas IPSI tahun 1973.
Sedangkan 5 perguruan biasa baru diterima tahun ini hanya berdasarkan skep ketua umum PB IPSI 2003-2007 yaitu: MP, PSTD, SMI, Kalimasada dan Persinas ASAD, di mana mereka memiliki hak suara dalam munas, tetapi mereka bukan perguruan historis. Bagi sebagian pengda dan perguruan historis, keputusan memasukkan 5 perguruan ini dianggap ''cacat hukum" sebab tidak sesuai dan melanggar AD/ART di atas, di mana ada syarat2 harus ada di 1/2 + 1 Propinsi dan 1/2+1 Kabupaten yg ada di propinsi tersebut. Tidak adanya verifikasi terhadap keabsahan dan keberadaan perguruan tersebut di 1/2 + 1 propinsi dan kabupaten tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa ini adalah akal2an supaya adanya penambahan suara baru bagi calon kandidat ketua PB IPSI dalam munas kemarin.

Rabu, 20 Januari 2010

CITaBUKAnCINTA


malaikat menangis mengucurkan air matanya ke bumi
menjelma menjadi hujan yang lebat
akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yan berlalu
kau tak selembut dahulu
dan aku tidak punya kesabaran yang lebih
dulu kau menyapaku dengan kata-kata menyejukkan hati
meredam jantung yang berdetak kencang
kabut tipis turun dari lembah jogja
dihatiku kau kadang jauh dan terkadang sangat dekat
hatiku melihat ketakutan yang menjadi suram
meresapi belayan angin yang menjadi dingin

apakah kau akan seperti kabut yang selalu terkikis sinar mentari....?
ataukah seperti panasnya mentari, hilang selalu dalam gelapnya malam....?

terasa wanita-wanita hanya meneduhkan diri dari hujan di hatiku
selanjutnya saat tak lagi hujan
pergi...pun tanpa jejak
pergi setelah aku sapa dan tak jarang sebelum aku sapa

terasa wanita-wanita sulit aku sentuh
atau wanita-wanita belum bisa menundukkan hatiku yang keras....?

telinga menangkap gemericik butir-butir air hujan yang jarang
bertanda hujan tak lagi lebat
hembusan angin malam menerpa wajahku dan masuk dalam pikiranku
membawa pesan.....:
RONI...
saat ini bukan saatnya otakmu di isi masalah CINTA
tpi otakmu harus di isi masalah CITA

diripun tersadar
teringat SKRIPSI untuk cepat di selesaikan

untuk ABA aku yang penyabar
kedua kakakku yang berkarakter seperti langit dan bumi
mbak kandungku_ SITI AISYAH_yang sangat cantik yang belum sempat aku lihat elok cantik rupanya.
UMI ku_seorang wanita yang tangguh dan cerdas, yang telah melahirkanku
sampai saat ini belum aku temukan wanita seperti dia
sosok figur yang berpengaruh dalam hidupku.



wisma ambera jogja, 20/01/2010