Jumat, 04 Desember 2009

TRADISI KRITIK DALAM ISLAM

TRADISI KRITIK DALAM ISLAM
Oleh:
Bahroni Abusiri Q

Kritik bukan sesuatu yang asing dalam Islam, sejak awal kelahirannya, Islam ditandai turunnya lima ayat pertama surat Al-‘Alaq ini menuntut kepada manusia (dalam konteks pertama kepada nabi Muhammad) agar membaca proses sejarah yang terjadi di masyarakat secara kritis. Dalam ayat lain (QS.Al-Baqarah/2: 30), Tuhan menetapkan keputusan-Nya menciptakan seorang kholifah di bumi disertai kritik tajam dari malaikat beserta beserta argumentasinya yang relevan dan bagus.
Karena kritik tersebut, maka banyak ilmu pengetahuan yang muncul dan beranekaragam. Nabi Adam melalui pengajaran-Nya, Tuhan mengkritiknya ketika tidak mau mematuhi perintah-Nya. Dengan kritik pula Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi. Di bumi mereka menemukan banyak pengalaman yang kemudian memunculkan pengetahuan.
Banyak ayat Al-Qur’an berupa kritik terhadap peristiwa yang dialami Nabi Muhammad dan sahabatnya, bisa juga berupa kritik terhadap manusia ketika tidak memahami kehendak Tuhan, manusia banyak dikritik dengan terma yang sangat pedas. Seperti, “apakah kalian tidak berfikir ?”,”apakah kalian tidak merenungkan ?”, dan seterusnya.
Memang ada firman Tuhan yang sifatnya bercerita namun cerita tersebut dalam studi Muhammad Ahmad Khalafullah yang berjudul “Al Fann Al-Qashas fi Al-Qur’an Al-karim”, tidak seluruhnya bermaksud informasi, melainkan menyimpan pesan-pesan khusus yang memerlukan studi tersendiri. Banyak hal yang membuktikan bahwa Islam memiliki tradisi kritik yang sangat kuat. Pertama, Al-Qur’an sendiri adalah mukjizat wacana kritis, berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya yang selalu disertai dengan mukjizat ( kesaktian mistik ) dan Nabi Muhammad disertai mukjizat yang sangat rasional dan revolusioner.
Al-Qur’an bukan hanya menceritakan sejarah- sejarah sosial, melainkan juga memberikan bekal pemahaman kepada manusia dalam kehidupan dan penciptaan peradaban. Terma-terma yang dipakai Al-Qur’an tidak mistis dan dan mensisir pembacanya. Namun dengan cerdas dan kritis mengajarkan kepada manusia tentang makna kebersamaan, persaudaraan, kesetaraan, keadilan dan sederet nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Jika dicermati Al-Qur’an adalah (kitab) yang paling percaya diri di dunia. Sejak awal berani menentang siapa saja yang tidak mempercayai dirinya. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menentang siapapun yang ingin menandingi kehebatannya denga menciptakan karya serupa.
Kedua, Nabi Muhammad adalah tokoh historis bukan mitos dalam pergaulannya denga para sahabat, Beliau bukanlah sosok yang otoriter dan anti kritik, sejarah perang dalam masanya selalu diiringi dengan perdebatan strategi antara dirinya dengan para sahabat, perang Uhud merupakan satu contoh bagaimana Kholid bin Walid menjadi pemenang adu argumen yang kemudian oleh Nabi diserahi sebagai panglima perang. Ketiga, masyarakat yang mencocoba mengembangkan pesan-pesan Nabi Muhammad melalui piagam Madinah adalah masyarakat yang sangat menghargai pluralitas. Kehidupan masyarakat tersebut sangat menghargai perbedaan agama dan suku. Perbedaan bukan dipahami sebagai sebagai potensi konflik, melainkan difahami sebagai potensi dinamis yang saling menjaga. Keempat, biografi para ulama’ salaf menunjukkan adanya tradisi ijtihad yang sangat kuat, mereka dengan keshalihan dan kedalaman pengetahuannya senantiasa memahami pengetahuan ulama’ lain dan denga penghormatan yang luar biasa. Akan tetapi , berbeda dengan pengertian penghormatan yang bermakna ketundukan yang tak beralasan, penghormatan mereka diwujudkan dalam tradisi kritik yang baik diwujudkan dalam produksi karya-karyanya.
Imam Syafi’I menghormati gurunya Imam Malik melalui karya-karyanya seperti Al-Umm. Demikian pula bagaimana Imam Ahmad bin Hambal membuat karya yang berbeda dengan gurunya Imam Syafi’I, mereka tidak menempatkan pandanganmya secara idiologis tertutup, namun sebaliknya terbuka dengan pandangan manapun dan saling menghormati.
Manusia diberi potensi yang luar biasa oleh Tuhan berupa akal selain potensi nafsu liar. Dengan kedua potensi tersebut manusia dituntut berfikir dan mengatur strategi bagaimana menyeimbangkan keduanya. Berfikir dan mengatur strategi masyarakat dengan saling mengkritik, karena dengan saling mengkritik manusia menjadi lebih baik dan kreatif. Sejarah intelektual Islam mencatat perkembangan luar biasa dalam pengetahuan dan kebudayaan ketika “kritik menjadi tradisi”.
Para pemikir Islam selalu melakukan analisa yang tajam untuk menetapkan pikiran-pikirannya. Analisa bisa terjadi ketika kritik menjadi landasan. Tanpa kritik tak akan ada analisa. Pengetahuan menjadi terlepas dari praktis, pengetahuan menjadi hanya berbusa-busa tanpa makna persentuhan dengan tradisi kemanusiaan. Padahal Islam diturunkan untuk manusia yang menyejarah. Salah satu kekuatan Islam adalah eksistensi Al-Qur’an yang tumbuh dan berjalan seiring dengan tradisi kenabian yang dikembangkan oleh umat Islam. Al-Qur’an secara spiritual terpelihara dengan praktek ibadah dan secara intelektual selalu diperdebatkan ulang.
Seluruh variabel ini saling mendukung sehingga melahirkan mekanisme kontrol dan dorongan inovasi secara terus menerus sepanjang sejarah islam. mekanisme kontrol variabel dan tarik menarik antara berbagai aliran-aliran bisa berjalan dengan sehat karena ada kritik yang berkelanjutan secara sportif. Mekanisme kritik diri seperti inilah yang pada gilirannya akan melahirkan pikiran-pikiran alternatif yang ideal.
Satu hal yang mudah disimpulkan adalah bahwa islam memiliki konsistensi dan tradisi kritik yang luar biasa, Islam menjadi berkembang dengan menciptakan banyak karya seni dan kebudayaan dan seterusnya karena adanya kritik sebagai tradisi. Oleh karena itu sangat ironis jika ada diantara kita yang alergi terhadap kritik. Apakah itu terjadi saya, anda, ataupun orang lain ?. hanya andalah yang bisa menjawabnya.

25 Agustus 2009. di wisma ambera jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berpendapat dengan kata
karena dengan itu
kita dapat bersuara kata